Sabtu, 16 Januari 2016

Kerajinan Seni Ukir Jepara

Sejarah Seni Ukir Jepara


Satu citra yang telah begitu melekat dengan Jepara adalah predikatnya sebagai “Kota Ukir”. Ukir kayu telah menjadi idiom kota kelahiran Raden Ajeng Kartini ini, dan bahkan belum ada kota lain yang layak disebut sepadan dengan Jepara untuk industri kerajinan meubel ukir. Namun untuk sampia pada kondisi seperti ini, Jepara telah menapak perjalana yang sangat panjang. Sejak jaman kejayaan Negara-negara Hindu di Jawa Tengah, Jepara Telah dikenal sebagai pelabuhan utara pantai Jawa yang juga berfungsi pintu gerbang komunikasi antara kerajaan Jawa denga Cina dan India. Demikian juga pada saat kerajan Islam pertama di Demak, Jepara telah dijadikan sebagai pelabuhan Utara disamping sebagai pusat perdagangan dan pangkalan armada perang. Dalam masa penyebaran agama Islam oleh para Wali, Jepara juga dijadikan daerah “ pengabdian” Sunan Kalijaga yang mengembangkan berbagai macam seni termasuk seni ukir.
Factor lain yang melatar belakangi perkembangan ukir kayu di Jepara adalah para pendatang dari negeri Cina yang kemudian menetap. Dalam catatan sejarah perkembangan ukir kayu juga tak dapat dilepaskan dari peranan Ratu Kalinyamat . Pada masa pemerintahannya ia memiliki seorang patih yang bernama “Sungging Badarduwung” yang berasal dari Negeri Campa  Patih ini ternyata seorang ahli pahat yang dengan sukarela mengajarkan keterampilannya kepada masyarakat disekitarnya  Satu bukti yang masih dapat dilihat dari seni ukir masa pemerintahan Ratu Kalinyamat ini adalah adanya ornament ukir batu di Masjid Mantingan.
Disamping itu , peranan Raden Ajeng Kartini dalam pengembangkan seni ukir juga sangat besar. Raden Ajeng Kartini yang melihat kehidupan para pengrajin tak juga beranjak dari kemiskinan, batinnya terusik, sehingga ia bertekat mengangkat derajat para pengrajin. Ia memanggil beberapa pengrajin dari Belakang Gunung (kini salah satu padukuhan Desa mulyoharjo) di bawah pimpinan Singowiryo, untuk bersama-sama membuat ukiran di belakang Kabupaten. Oleh Raden Ajeng Kartini, mereka diminta untuk membuat berbagai macam jenis ukiran, seperti peti jahitan, meja keci, pigura, tempat rokok, tempat perhiasan, dan lain-lain barang souvenir. Barang-barang ini kemudian di jual Raden Ajeng Kartini ke Semarang dan Batavia (sekarang Jakarta ), sehingga akhirnya diketahui bahwa masyarakat Jepara pandai mengukir. Setelah banyak pesanan yang datang, hasil produksi para pengrajin Jepara bertambah jenis kursi pengantin, alat panahan angin, tempat tidur pengantin dan penyekat ruangan serta berbagai jenis kursi tamu dan kursi makan. Raden Ajeng Kartini juga mulai memperkenalkan seni ukir Jepara keluar negeri. Caranya, Raden Ajeng kartini memberikan souvenir kepada sahabatnya di luar negeri. Akibatnya ukir terus berkembang dan pesanan terus berdatangan. Seluruh penjualan barang, setelah dikurangi dengan biaya produksi dan ongkos kirim, uangnya diserahkan secara utuh kepada para pengrajin.
Untuk menunjang perkembangan ukir Jepara yang telah dirintis oleh Raden Ajeng Kartini, pada tahun 1929 timbul gagasan dari beberapa orang pribumi untuk mendirikan sekolah kejuruan. Tepat pada tanggal 1 Juli 1929, sekolah pertukangan dengan jurusan meubel dan ukir dibuka dengan nama “Openbare Ambachtsschool” yang kemudian berkembang menjadi Sekolah Teknik Negeri dan Kemudian menjadi Sekolah Menengah Industri Kerajinan Negeri. Dengan adanya sekolah kejuruan ini, kerajinan meubul dan ukiran semaluas di masyarakat dan makin banyak pula anak–anak yang masuk sekolah ini agar mendapatkan kecakapan di bidang meubel dan meubel dan ukir.  Di dalam sekolah ini agar diajarkan berbagai macam desain  motif ukir serta ragam hias Indonesia yang pada mulanya belum diketahui oleh masyarakat Jepara . Tokoh-tokoh yang berjasa di dalam pengembangan motif lewat lembaga pendidikan ini adalah Raden Ngabehi Projo Sukemi yang mengembangkan motif majapahit dan Pajajaran serta Raden Ngabehi Wignjopangukir mengembangkan motif Pajajaran dan Bali. Semakin bertambahnya motif ukir yang dikuasai oleh para pengrajin Jepara, mebel jepara semakin diminati, para pedagang pun mulai memanfaatkan kesempatan ini, untuk mendapatkan barang-barang baru guna memenuhi permintaan konsumen, baik yang berada di dalam di luar negeri. Kemampuan masyarakat Jepara di bidang ukir kayu juga diwarnai dengan legenda. Dikisahkan, pada jaman dahulu ada seorang seniman bernama Ki Sungging Adi Luwih yang tinggal di suatu kerajaan. Ketenaran seniman ini didengar oleh sang raja yang kemudian memesan gambar permaisuri. Singkat cerita, KiSungging berhasil menyelesaikan pesanan dengan baik. Namun ketika ia akan menambahkan warna hitam pada rambut, terpeciklah tinta hitam dibagian pangkal paha gambar sang permaisuri sehingga nampak seperti tahi lalat. Gambar ini kemudian diserahkan kepada raja yang sangat kagum terhadap hasil karya Ki Sungging.
Namun raja juga curiga karena ia melihat ada tahi lalat dipangkal paha. Raja menduga Ki Sungging talah melihat permaisuri telanjang. Oleh karena itu raja berniat menghukum Ki Sungging dengan membuat patung di udara dengan naik layang-layang. Pada waktu yang telah ditentukan  ki Sungging naik layang-layang dengan membawa pelengkapan pahat untuk membuat patung permaisuri. Namun karena angina bertiup sangat kencang, patung setengah jadi itu akhirnya terbawa angin dan jatuh di pulau Bali. Benda ini akhirnya ditemukan oleh masyarakat Bali, sehingga masyarakat setempat sekarang dikenal sebagai ahli membuat patung. Sedangkan peralatan memahat jatuh di belakang gunung dan konon dari kawasan inilah ukir Jepara mulai berkembang.
Terlepas dari cerita legenda maupun sejarahnya, seni ukir Jepara kini telah dapat berkembang dan bahkan merupakan salah satu bagian dari “nafas kehidupan dan denyut nadi perekonomian “ masyarakat Jepara. Setelah mengalami perubahan dari kerajinan tangan menjadi industri kerajinan, terutama bila dipandang dari segi sosial ekonomi, ukiran kayu Jepara terus melaju pesat, sehingga Jepara mendapatkan predikat sebagai kota ukir, setelah berhasil menguasai pasar nasional. Namun karena perkembangan dinamika ekonomi, pasar nasional saja belum merupakan jaminan, karena di luar itu pangsa pasar masih terbuka lebar.  Oleh karena itu diperlukan kiat khusus untuk dapat menerobos pasar internasional. Untuk melakukan ekspansi pasar ini buka saja dilakukan melalui pameran-pameran, tetapi juga dilakukan penataan-penataan di daerah. Langkah-langkah ini ditempuh dengan upaya meningkatkan kualitas muebel ukir Jepara, menejemen produksi dan menejemen pemasaran. Di samping itu dikembangkan “Semangat Jepara Incoporated “, bersatunya pengusaha Jepara dalam memasuki pasar ekspor, yang menuntut persiapan matang karena persaingan-persaingan yang begitu ketat. Guna meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia misalnya, dilakukan melalui pendidikan Sekolah Menengah Industri Kerajinan Negeri dan Akademi Teknologi Perkayuan dan pendidikan non formal melalui kursus-kursus dan latihan-latihan. Dengan penigkatan kualitas sumber daya manusia ini diharapkan bukan saja dapat memacu kualitas produk, tatapi juga memacu kemampuan para pengrajin dan pengusaha Jepara dalam pembaca peluang pasar dengan segala tentutannya. Peningkatan kualitas produk dan pengawasan mutu memang menjadi obsesi Jepara dalam memasuki pasar internasional, yang bertujuan untuk meningkatkan kepercayaan luar negri  terhadap produk industri Jepara. Karena itu pengendalian mutu dengan mengacu pada sistim standard internasional merupakan hal yang tidak dapat di tawar-tawar lagi. Usaha ini dilakukan melalui pembinaan terhadap produsen agar mempertahankan mutu produknya dalam rangka menjamin mutu pelayanan sebagai mana dipersaratkan ISO 9000. Di samping itu, perluasan dan intensifikasi pasar terus dilakukan dalam rangka meningkatkan ekspor serta peluasan pasar internasional dengan penganeragaman produk yang mempunyai potensi, serta peningkatan market intelligence untuk memperoleh transportasi pasar luar negeri.
Dengan demikian para pengusaha dapat dengan tepat dan cepat mengantisipasi peluang serta tantangan yang ada dipasar internasional. Sementara itu jaringan informasi terus dilakukan melalu pengevektivan fungsi dan kegiatan Buyer Reception Desk yang ada di Jepara. Langkah-langkah konseptual yang dilakukan secara terus menerus ini telah berbuah keberhasilan yang dampaknya dirasakan oleh masyarakat Jepara, berupa peningkatan kesejateraannya. Dari data yang ada dapat dijadikan cermin keberhasilan sektor meubel ukir dalam lima tahun terakhir.
Data diatas belum termasuk potensi kayu olahan , souvenir dan peti mati yang dalam tiga tahun terakhir telah berhasil dilealisir ekspornya. Untuk dapat melihat lebih jauh potensi ukir kayu ini juga dapat dilihat berbagai macam penghargaan, yang bersekala regional, nasional dan internasional,  baik bagi para pengusaha, pengrajin maupun bagi pimpinan daerah.
sumber : http://neoidromoi.blogspot.co.id/2014/08/sejarah-seni-ukir-jepara.html

Tradisi Lomban di Jepara

Pesta Lomban di Jepara

Setiap tradisi yang mampu bertahan lama, pastilah melalui proses evolusi kebudayaan yang panjang dan memiliki kesamaan akar historis. Evolusi yang diikuti akulturasi itu, pada akhirnya menimbulkan keselarasan dan kecocokan dengan masyarakat penganutnya. Tesis itu, sangat relevan diajukan guna mengungkap tradisi ”syawalan”, yang dilakukan oleh masyarakat Jawa secara turun-temurun. Di Jepara, tradisi syawalan dilakukan sepekan setelah hari raya Idul Fitri atau pada tanggal 8 syawal dan biasa disebut dengan “ Bada Kupat ”. Disebut “ Bada Kupat ” karena pada saat itu masyarakat Jepara merayakannya dengan memasak kupat (ketupat) dan lepet disertai rangkaian masakan lain seperti : opor ayam, rendang daging, sambal goreng, oseng-oseng dan lain-lain. Selain itu, sering pula disebut “ Pesta Lomban ” karena merupakan puncak acara dari Pekan Syawalan.

Pengertian
Nama Jepara berasal dari kata ‘ujung’ dan ‘para’. Kata Para adalah kependekan dari ‘pepara’ yang berarti bebakulan mrana-mrana, yaitu berdagang kesana-kemari. Sementara itu Lekkerkerker menyebut Jepara dengan haventjes der klein handelaars artinya pelabuhan para pedagang kecil. Panitia Penyusunan Hari Jadi Jepara mengatakan bahwa pada umumnya kota-kota yang terletak di tepi pantai biasanya menggunakan kata ‘ujung’ seperti ‘Ujung Sawat’, ‘Ujung Gat’, ‘Ujung Kalirang’, ‘Ujung Jati’, ‘Ujung Lumajang’, dan ‘Ujung Blidang’ sehingga kata Jepara berasal dari kata ‘ ujung para, ujungmara atau jumpara’. Jepara yang terletak di Pesisir pantai utara pulau Jawa mayoritas masyarakatnya berpencaharian sebagai nelayan selain sebagai pengrajin seni ukir (mebel).
Istilah Lomban oleh sebagian masyarakat Jepara disebutkan dari kata “lomba-lomba” yang berarti masyarakat nelayan masa itu bersenang-senang melaksanakan lomba-lomba laut yang seperti sekarang masih dilaksanakan setiap pesta Lomban, namun ada sebagian mengatakan bahwa kata-kata lomban berasal dari kata “Lelumban” atau bersenang-senang. Semuanya mempunyai makna yang sama yaitu merayakan hari raya dengan bersenang-senang setelah berpuasa Ramadhan sebulan penuh. Yang pasti, bada lomban merupakan momen bagi para nelayan untuk bersenang-senang dalam merayakan Idul Fitri setelah menunaikan puasa sebulan penuh. Tidak hanya para nelayan, anak-anak yang tinggal di sekitar pantai menyemarakkan pesta rakyat tersebut dengan memakai baju warna-warni.
Selain bada lomban, dikenal pula bada kupat. Kupat adalah bentuk tradisional yang tidak asing lagi bagi masyarakat khususnya masyarakat Jawa Tengah . Secara harfiah, ketupat merupakan jenis makanan yang dibuat dari pembungkus pelepah daun janur berbentuk hati yang di dalamnya berisi beras yang sudah matang. Ketupat ini hanyalah merupakan bentuk simbolisasi yang bermakna hati putih yang dimiliki oleh seseorang yang kembali suci.
Ketupat dalam bahasa Jawa berasal dari singkatan “Ngaku Lepat” yang berarti mengakui kesalahan. Maknanya, dengan tradisi ketupat diharapkan setiap orang mau mengakui kesalahan, sehingga memudahkan diri untuk memaafkan kesalahan orang lain. Singkatnya, semua dosa yang ada akan saling terlebur bersamaan dengan hari raya idul fitri. Selain itu ketupat mengandung empat makna yakni: lebar, lebur, luber dan labur. Lebar artinya luas, lebur artinya dosa atau kesalahan yang sudah diampuni, luber maknanya pemberian pahala yang berlebih, dan labur artinya wajah yang ceria. Secara keseluruhan bisa dimaknai sebagai suatu keadaan yang paling bahagia setelah segala dosa yang demikian besar diampuni untuk kembali menjadi orang yang suci dan bersih.
Banyak makna filosofis yang dikandung dalam makanan ketupat ini. Bungkus yang dibuat dari janur kuning melambangkan penolak bala bagi orang Jawa. Sebagian masyarakat juga memaknai rumitnya anyaman bungkus ketupat mencerminkan berbagai macam kesalahan manusia sedangkan warna putih ketupat ketika dibelah dua mencerminkan kebersihan dan kesucian setelah mohon ampun dari kesalahan. Beras sebagai isi ketupat diharapkan menjadi lambang kemakmuran setelah hari raya.
Adapun bentuk ketupat yang persegi, menjadi simbol atau perwujudan cara pandang kiblat papat lima pancer. Cara pandang itu menegasikan adanya harmonisasi dan keseimbangan alam: empat arah mata angin utama, yaitu timur, selatan, barat, dan utara yang bertumpu pada satu pusat. Maknanya, manusia dalam kehidupan, ke arah manapun dia pergi, hendaknya tidak pernah melupakan pancer yaitu Tuhan yang Maha Esa.
Selain ketupat, makanan khas di Jepara pada saat pesta lomban adalah lepet. Lepet hampir seperti ketupat tetapi terbuat dari ketan disertai parutan kelapa dan diberi garam. Lepet ini rasanya lebih gurih dan dimakan tanpa lauk. Bentuknya bulat panjang 10 cm. Lepet artinya luput atau keliru, sehingga artinya mereka supaya dijauhkan dari kesalahan dan kekeliruan.

Sejarah Pesta Lomban
Pesta lomban itu sendiri telah berlangsung lebih dari 1 (satu) abad yang lampau. Berita ini bersumber dari tulisan tentang lomban yang dimuat dalam Kalawarti/Majalah berbahasa Melayu bernama Slompret Melayu yang terbit di Semarang pada paruh kedua abad XIX edisi tanggal 12 dan 17 Agustus 1893 yang menceritakan keadaan lomban pada waktu itu, dan ternyata tidak berbeda dengan apa yang dilaksanakan masyarakat sekarang.Diceritakan dalam pemberitaan tersebut, bahwa pusat keramaian pada waktu itu berlangsung di teluk Jepara dan berakhir di Pulau Kelor. Pulau Kelor sekarang adalah komplek Pantai Kartini atau taman rekreasi Pantai Kartini yang kala itu masih terpisah dengan daratan di Jepara.Karena pendangkalan, maka lama kelamaan antara Pulau Kelor dan daratan Jepara bergandeng menjadi satu. Pulau Kelor (sekarang Pantai Kartini) dahulu pernah menjadi kediaman seorang Melayu bernama Encik Lanang, pulau ini dipinjamkan oleh Pemerintah Hindia Belnda kepada Encik Lanang atas jasanya dalam membantu Hindia Belanda dalam perang di Bali.Pesta Lomban kala itu memang saat-saat yang menggembirakan bagi masyarakat warga nelayan di Jepara. Pesta ini dimulai pada pagi hari saat matahari mulai menampakkan cahayanya di bumi, penduduk peserta Lomban telah bangun dan menuju perahunya masing-masing.Mereka mempersiapkan amunisi guna dipergunakan dalam “Perang Teluk Jepara”, baik amunisi logistik berupa minuman dan makanan maupun amunisi perang berupa ketupat, lepet dan kolang kaling, guna meramaikan dibawa pula petasan sehingga suasananya ibarat perang. Keberangkatan armada perahu ini di iringi dengan gamelan Kebogiro.Bunyi petasan yang memekakkan telinga dan peluncuran “Peluru” kupat dan lepet dari satu perahu ke perahu yang lain. Saat “Perang Teluk” berlangsung dimeriahkan dengan gamelan Kebogiro. Seusai pertempuran para peserta Pesta Lomban bersama-sama mendarat ke Pulau Kelor untuk makan bekalnya masing-masing. Di samping makan bekalnya situasi di Pulau Kelor tersebut ramai oleh para pedagang yang juga menjual makanan dan minuman serta barang-barang kebutuhan lainnya. Selain pesta-pesta tersebut, para nelayan peserta Pesta Lomban tak lupa lebih dahulu berziarah ke makam Encik Lanang yang dimakamkan di Pulau Kelor tersebut. Sebelum sore hari Pesta Lomban berakhir penonton dan peserta pulang ke rumah masing-masing.

Prosesi
Pesta Lomban masa kini telah dilaksanakan oleh warga masyarakat nelayan Jepara bahkan dalam perkembangannya sudah menjadi milik warga masyarakat Jepara. Hal ini nampak partisipasinya yang besar masyarakat Jepara menyambut PestaLomban. Dua atau tiga hari sebelum Pesta Lomban berlangsung pasar-pasar di kota Jepara nampak ramai seperti ketika menjelang Hari Raya Idul Fitri. Ibu-ibu rumah tangga sibuk mempersiapkan pesta lomban sebagai hari raya kedua. Pedagang bungkusan kupat dengan janur (bahan pembuat kupat dan lepet) juga menjajakan ayam guna melengkapi lauk pauknya.
Malam hari sebelum acara pesta Lomban berlangsung, biasanya diadakan pagelaran wayang kulit semalam suntuk. Pada saat pesta Lomban berlansung semua pasar di Jepara tutup tidak ada pedagang yang berjualan semuanya berbondong-bondong ke Pantai KartiniPesta Lomban dimulai sejak pukul 06.00 WIB dimulai dengan upacara Pelepasan Sesaji dari TPI Jobokuto.
Upacara ini dipimpin oleh pemuka agama desa Jobokuto dan dihadiri oleh Bapak Bupati Jepara dan para pejabat Kabupaten lainnya. Sesaji itu berupa kepala kerbau, kaki, kulit dan jerohannya dibungkus dengan kain mori putih. Sesaji lainnya berisi sepasang kupat dan lepet, bubur merah putih, jajan pasar, arang-arang kambong (beras digoreng), nasi yang diatasnya ditutupi ikan, jajan pasar, ayam dekeman (ingkung), dan kembang boreh/setaman. Semua sesaji diletakkan dalam sebuah ancak yang telah disiapkan sebelumnya. Setelah dilepas dengan do’a sesaji ini di”larung” ke tengah lautan, pembawa sesaji dilakukan oleh sejumlah rombongan yang telah ditunjuk oleh pinisepuh nelayan setempat dan diikuti oleh keluarga nelayan, semua pemilik perahu, dan aparat setempat. Pelarungan sesaji ini dipimpin oleh Bupati Jepara.
Tradisi pelarungan kepala kerbau ini dimulai sejak Haji Sidik yang kala itu menjabat Kepala Desa Ujungbatu sekitar tahun 1920. Upacara pemberangkatan sesaji kepala kerbau yang dipimpin oleh Bapak Bupati Jepara, sebelum diangkut ke perahu sesaji diberi do’a oleh pemuka agama dan kemudian diangkat oleh para nelayan ke perahu pengangkut diiringi Bupati Jepara bersama dengan rombongan. Sementara sesaji dilarung ke tengah lautan, para peserta pesta lomban menuju ke “Teluk Jepara” untuk bersiap melakukan Perang Laut dengan amunisi beragam macam ketupat dan lepet tersebut.
Di tengah laut setelah sesaji dilepas, beberapa perahu nelayan berebut mendapatkan air dari sesaji itu yang kemudian disiramkan ke kapal mereka dengan keyakinan kapal tersebut akan mendapatkan banyak berkah dalam mencari ikan. Ketika berebut sesaji ini juga dimeriahkan dengan tradisi perang ketupat dimana antar perahu yang berebut saling melempar dengan menggunakan ketupat. Selanjutnya dengan disaksikan ribuan pengunjung Pesta Lomban acara “Perang Teluk” berlangsung ribuan kupat, lepet, kolang kaling, telur-telur busuk berhamburan mengenai sasaran dari perahu ke perahu yang lain. “Perang Teluk” usai setelah Bupati Jepara beserta rombongan merapat ke Pantai Kartini dan mendarat di dermaga guna beristirahat dan makan bekal yang telah dibawa dari rumah. Di sini para peserta pesta Lomban dihibur dengan tarian tradisional Gambyong dan Langen Beken dan lain sebagainya.
Maksud dari upacara pelarungan ini adalah sebagai ungkapan rasa terima kasih kepada Allah SWT, yang melimpahkan rezeki dan keselamatan kepada warga masyarakat nelayan selama setahun dan berharap pula berkah dan hidayahNya untuk masa depan. Selain itu pelarungan ditujukan sebagai salah satu bentuk rasa hormat kepada Yang Maha Penguasa ‘sing mbaurekso’ sebagai ruh para leluhur yang mereka percaya dapat menjaga dan melindunginya dari segala ancaman marabahaya dan mala petaka.
Tradisi upacara yang masih bertahan dapat memberi gambaran bahwa masyarakat nelayan masih memegang teguh adat istiadat yang diwarisi secara turun-temurun. Kepercayaan terhadap leluhur, roh halus merupakan manifestasi keteguhan hati yang masih mengakar pada diri nelayan Jepara dalam hal nguri-uri kebudayaan leluhurnya.

Dampak Ekonomi dan Sosial
Lomban seakan mengandung magnet yang mampu menyedot banyak orang berdatangan dari berbagai penjuru tempat. Meski, sebenarnya tidak ada sesuatu yang sama sekali baru yang “terhidangkan” di tradisi lomban jika dibandingkan dengan hari-hari (libur) biasa. Perahu-perahu yang disewakan untuk pengunjung juga sama perahu yang biasa melayani pengunjung di hari-hari (libur) biasa. Paling-paling hanya sedikit dihiasi dengan bahan janur. Memang, biasanya saat kupatan ada pertunjukan-pertunjukan hiburan rakyat yang jumlahnya relatif banyak. Dan, situasi itu mengundang banyak pedagang untuk berjualan, baik jenis makanan maupun suvenir (khas derah). Sekarang, berbagai lomba telah mulai berkurang. Ritual tahunan kupatan, agaknya tak hanya untuk ajang rekresai tradisi keluarga, tapi juga sebagai media bersilaturahmi antarpengunjung yang masih memiliki ikatan sosial, apakah teman lama, kolega, tetangga kampung, ataupun yang lainnya; jika di saat Lebaran mereka belum berjumpa.

Di samping itu, dari sisi ekonomi, boleh jadi tradisi lomban menjadi lahan produktif. Yang, semoga tak hanya menguntungkan pengusaha perahu/kapal, tetapi juga para nelayan, yang sehari-harinya ketika melaut tak selalu “menjanjikan”. Warga pesisir yang memiliki usaha kerajinan tangan boleh merasakan berkat. Pedagang musiman, yang barangkali tak hanya berasal dari daerah setempat, tetapi daerah lain pun teranugerahi rezeki. Itu artinya, perputaran ekonomi yang masih dekat dengan masa Lebaran, yang memungkinkan uang dari pusat-pusat ekonomi tergelontorkan ke daerah boleh juga mereka cicipi demi menjaga keberlangsungan hidup keluarga.
Dari segi sosial, pesta lomban bisa menjadi sarana komunikasi antara masyarakat dengan pemerintah Jepara serta antarmasyarakat Jepara sendiri. Momentum pesta lomban menunjukkan bahwa masyarakat Jepara memegang teguh tradisi yang telah ada untuk diwariskan kepada penerus-penerus bangsa.

Sumber : http://zainurrakhmah.blog.ugm.ac.id/2010/11/05/pesta-lomban-di-jepara/

Menjaga Kearifan Lokal



Tenun Troso


Sebenarnya Tenun Troso adalah teknik tenun gedog dan kemudian dalam kurun waktu yang cukup panjang, berkembang menjadi tenun ikat. Masyarakat Kabupaten Jepara dan sekitarnya lebih mengenal dengan sebutan “Tenun Troso”.

Nama Troso merujuk pada nama desa tempat puluhan pengrajin tenun memproduksi kain ini, sudah puluhan tahun, pengrajin eksis berbisnis tenun. Produksinya juga sangat beragam, mulai dari bahan untuk kemeja, gaun, hingga aksesori rumah, seperti gorden, alas meja, hingga seprai, jaraknya sekitar 12 km arah tenggara dari ibukota Jepara.


Kain tenun Troso (http://ngeling.kknppmunnes14.com)
Sejarah
Kapan tepatnya dimulai industri tenun di Desa Troso ini tidak dapat diperoleh data secara tepat. Menurut masyarakat setempat kain tenun di Desa Troso dimulai pada masa masuknya agama islam di Desa Troso yaitu pada masa kerajaan Mataram Islam sekitar tahun 1800 M. Pada awalnya kain tenun ini tercipta dibuat sebagai pelengkap kebutuhan sandang, dimana dibuat pertama kali oleh Mbah Senu dan Nyi Senu yang mana pada saat itu kain dipakai pertama kali untuk menemui Ulama besar yang disegani yaitu Mbah Datuk Gunardi Singorojo yang sedang menyebarkan agama Islam di Desa Troso.

Kain tenun Troso
Motif
Terdapat 2 (dua) motif tenun hasil karya cipta komunitas Desa Troso, yaitu :
- Motif Cemara (pohon cemara)
- Motif Lompong (daun Tales)



Tenun motif cemara dan lompong adalah jenis motif yang ditorehkan pada kain sarung. dikenal oleh khalayak ramai. Namun seiring dengan perjalanan waktu, motif tenun cemara dan lompong sudah jarang dibuat oleh pengrajin, yang dikarenakan tidak adanya permintaan pasar. Padahal kala itu kain tenun yang bermotifkan lompong dan cemara pernah mengalami jaman keemasan. Namun jaman keemasan tersebut telah sirna ditelan waktu yang disebabkan oleh beberapa persoalan yang sangat komplek, diantaranya sulitnya mendapatkan bahan baku dengan jumlah banyak dan yang konsisten. Suhu Politik saat itu kurang kondusif yang dikarenakan terjadinya perang saudara (tragedi G 30 S/ PKI).

Kain tenun Troso

Ragam motif kain tenun Troso Jepara ini selalu mengalami perubahan. Hal tersebut terjadi karena para perajin tenun Troso Jepara Lebih mementingkan aspek dagang daripada aspek budaya. Pada awal munculnya motif kain tenun Troso pertama kali adalah selain motif cemara dan lompong, motif Lurik yang hias nya berupa garis-garis dan polos. Namun belakangan para perajin dan pengusaha tenun membuat motif tenun sesuai permintaan pesanan.

Bahkan, sejak beberapa tahun lalu dikembangkan pula tenun dengan bahan serat nanas. Tampilkainnya begitu eksotis sehingga para penggemar tenun tidak sayang untuk merogoh kocek lebih banyak demi mendapatkan kain serat nanas.
Warna
Dominasi warna-warna pada kain tenun Troso ini adalah warna-warna klasik dan gelap seperti coklat muda atau coklat tua, biru tua.
Proses Pembuatan
1. Pengetengan


Pengetengan

Tahap ini adalah tahap awal dalam proses produksi kain tenun Troso Jepara, pada tahap ini dilakukan pengeraian benang dari kelos-kelos aslinya. Pekerjaan ini disebut ngeteng.
2. Pembuatan Pola 
Setelah proses pengetengan, benang yang masih dalam bentuk gulungan diurai dalam bingkai kayu (plankan). Plankan tersebut di beri gambar sesuai dengan motif yang diinginkan.
3. Pengikatan benang
Pada tahap ini, perajin biasanya mengikatnya dengan menggunakan tali raffia.
4. Pencelupan Warna (nyelup)
Setelah benang diikat, tahap selanjutnya adalah tahap pencelupan warna pada benang katun.
5. Penjemuran
Setelah benang diwarnai kemudian dilakukan tahap penjemuran di bawah sinar matahari.
6. Mbatil
Mbatil adalah tahap membuka atau melepas ikatan pada benang setelah benang dijemur dan dikeringkan.
7. Malet



Malet

Malet adalah tahap kegiatan menggulung kembali benang-benang sehabis diwarna, dijemur, dan di batil dalam kletek yang akan disekir.
8. Nyekir
Nyekir
Nyekir adalah proses yang sama seperti menyiapkan pola yang akan ditenun nantinya.
9. Menenun

Menenun

Menenun adalah kegiatan yang tidak dapat dipisahkan dan merupakan kegiatan lanjutan dari tahap kegiatan sebelumnya, tahap ini merupakan tahap terakhir dari keseluruhan tahapan yang begitu panjang. Menenun prinsipnya menyatukan benang yang membujur disebut lungsi, dengan benang yang melintang yang disebut pakan.
Pemasaran
Keinginan Pemerintah Daerah Jepara untuk mengedepankan kerajinannya selain meubel ukir, diantaranya adalah tenun troso. Salah satu upaya Pemerintah Daerah adalah membantu penyerapan pasar hasil kerajinan tenun troso yang berupa kewajiban kepada jajaran Pemerintah Daerah untuk menggunakan pakaian seragam tenun ikat yang dibuat oleh pengrajin Desa Troso. 
Seragam tersebut wajib dikenakan pada hari yang telah ditentukan pula. Kewajiban tersebut adalah bentuk keseriusan Pemerintah Daerah Jepara dalam melestarikan dan melindungi asset kekayaan budaya daerah yang berupa pengetahuan tradisional dan upaya Pemerintah Daerah Jepara dalam mewujudkan keinginannya untuk menggali potensi daerah serta mengedepankan industri kerajinan selain meubel ukir, untuk dijadikan produk unggulan daerah Kabupaten Jepara. Dengan kewajiban memakai tenun ikat untuk kalangan pegawai Pemerintah Daerah tersebut, pengrajin mulai bergairah kembali untuk membuat (produksi) tenun ikat yang selama beberapa kurun waktu ini mengalami kelesuan pasar.
Produk tenun ikat yang banyak diproduksi oleh pengrajin adalah kain jok meubel, gorden, pakaian seragam & pakaian adat Kabupaten Jepara serta beberapa jenis motif kain tenun ikat yang bermotifkan etnik dari daerah lain di Indonesia seperti motif tenun dari daerah Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan, Bali dan sebagainya, karena motif dari daerah yang telah disebutkan diatas, pasarnya masih terbuka luas.

sumber : http://gpswisataindonesia.blogspot.co.id/2015/04/tenun-troso-tenun-jepara-jawa-tengah.html







Makanan Khas Jepara Pindang Serani


Pindang Serani



Pindang serani menika salah satunggaling tetedhahan khas tiyang Jepara ingkang bahan utamanipun inggih inggih menika ulam laut ingkang dipunolah dados sup ingkang enak. Pindang serani menika nggadhahi perpaduan raos nikmat ingkang boten wonten tandinganipun yaiku raos pedes, manis lan asem campur dados setunggal.
Hidangan Pindang Serani menika saged dipunnikmati enjing utawi siyang, menapa malih taksih anget dipunkancani secangkir teh utawi kopi panas. Raosipun nikmat ndadosaken kemutan terus kaliyan tetedhahan Pindang Serani lan kithanipun inggih menika Jepara. 
sumber : http://kinerjaaktif.com/makanan-khas-jepara/


Kaendahaning Benteng Portugis


BENTENG PORTUGIS 



Benteng Portugis ing Jepara inggih menika sawijining cagar budaya ingkang dipunlindungi, nggadhahi panorama alam ingkang narik kawigaten kanthi suguhan pemandangan bukit, panorama pantai, sarta hamparan batuan sedimen ingkang menawan. Benteng Portugis menika dipunbangun ing sanginggiling bukit batu ingkang posisinipun ing sapinggiring laut, ing bagian utara benteng persis adep-adepan kaliyan  Pulau Mondoliko.
Jaman mbiyen,  benteng menika nggadhahi peran strategis dalam mengontrol jalur pelayaran kapal saking Jepara ke Indonesia bagian timur lan suwalikipun.  BentengPortugis menika mapan ing Desa Banyumanis, Kecamatan Donorojo ingkang nawaraken suguhan kaendahan alam ingkang kathah dipunkaremi dening kalangan penikmat perjalanan.

sumber :http://www.initempatwisata.com/wisataindonesia/jepara/inilahpesona-8-tempat-wisata-di-jepara-paling-menarik/2420/

Jumat, 15 Januari 2016

Artikel Wayang

Wayang Kancil ing Eropa Dadi Primadhona

            Dilalekake ing negarane dhewe, wayang kancil kang diripta dening Ki Ledjar Soebroto malah dadi primadhona ing Eropa. Ing wulan mei tekan juli wingi, Ki Ledjar Soebroto keliling Eropa kanggo nggelar lan ngenalake wayang kancil marang masyarakat kana. “kadhang aku malah bingung kena apa sing ngregani wayang kancil iku masyarakat Eropa, dudu bangsa indonesia”, mangkono critane Pak Ledjar sadurunge menyang Eropa.
            Durung suwe iki, Ki Ledjar Soebroto bebarengan karo putune Ananta Wicaksono ngadani tour ing Inggris lan Walanda saperlu nggelar wayang kancil. Uga, wayang-wayang kancil anggitane Mbah Ledjar dipamerake ing Stichting Atrium Balaikota Den Haag. Ing kutha iku Mbah Ledjar pancen diundang khusus dening Walikota Den Haag kanggo pameran ing kana.
            Ora mung kuwi, tilas asisten dhalang kondhang swargi Ki Narto Sabdo iki uga dijaluk gawe wayang manuk bango. Manuk bango pancen dadi identitas kutha Denhaag. Dadi manuk iku minangka ikon kutha Den Haag. “wayang manuk bango tak serahake nalika pembukaan pameran ana ing Atrium Balaikota Den Haag”, mangkono critane ngenani acara mirunggan ana ing kutha Den Haag.
            Sadurunge Mbah Ledjar uga ketiban sampur kanggo crita ngenani proses kreatif anggone gawe wayang kancil ana ing seminar kang diadani Bank Wayang Project Foundation, Belanda. Kalebu dijaluki panemu bab maneka wayang kang sumimpen ana ing museum-museum ing Eropa. Kegiyatan liya ana ing Eropa yaiku ngadani workshop wayang ing Den Haag. Lan uga tampil ana pagelaran wayang kancil ing Festival Tong Tong kang digelar ing kutha Den Haag, Belanda.
            Sawise iku Mbah Ledjar uga kudu menyang Inggris merga diundang kanggo ngregengake Beferlly Puppet Festival kang diadani ing kutha Beferlly. Ing negarane Ratu Elisabeth iki, Mbah Ledjar uga nggelar wayang kancil. Wayang kang maune digawe kanggo ngraketake bocah-bocah karo wayang.
            Ing Inggris, piyayi kelairan 20 mei 1938 iki uga kajibah menehi workshop ngenani wayang kancil ing British Museum. Sawijining museum gedhe ing kutha London, Inggris. Lan undangan kanggo workshop lan nggelar wayang kancil uga saka Museum Horniman. Mbah Ledjar ing kegiyatan tour menyang Eropa iki nggawa wayang kewan 90 kang dikenal wayang kancil iku.
Awale saka prihatin
          Ki Ledjar Soebroto uga crita menawa dheweke gawe wayang kancil awale saka rasa prihatine merga bocah-bocah saiki wis padha ora kenal karo wayang. Kanggo ngenalake wayang marang bocah-bocah, dheweke nyoba gawe wayang kancil. Iki merga crita kancil banget dikenal masyarakat kita. “ wiwit cilik bocah-bocah wis dikenalake dening crita kancil, ya saka iku banjur coba tak gawe wayang kewan critane ngenani kancil. Sapa ngerti saka iku bocah-bocah banjur bali seneng karo wayang maneh”, mangkono panambahe Mbah Ledjar.
            Pranyata wayang kancil kang digarap Mbah Ledjar iki malah narik kawigatene para pandhemen wayang saka Eropa. Salah sijine yaiku Rienbardman. Pandhemen wayang kang uga asring dadi dhalang iki rumangsa tertarik merga Pak Ledjar gawe wayang fabel, wayang kanthi crita kewan. Ing Belanda crita ngenani kancil asring kanggo bahan dongengan para wong tuwa ing negara iku. “apamaneh Pak Rienbardman iku uga tau nyinau wayang purwa ing Kasunanan Surakarta lan Pura Mangkunegaran, engga bab wayang purwa dheweke bisa dikandhakake pana”, panambahe Mbah Ledjar kang wektu iku ditemoni PS ing daleme ing  Jl. Mataram DN I/198 Yogyakarta.
            Kreativitase Mbah Ledjar sabenere ora mung wayang kancil. Taun 1987 piyambake uga tau gawe wayang Sultan Agung. Wayang kang critane ngenani kiprahe Sultan Agung nalika nyoba ngusir penjajah Walanda kang dipimpin Jan Pieter Zoon Coen. Taun 2002 gawe wayang samurai kanggo kaperluan pentas dhalang asal Jepang Ryoh Matsumoto. Taun 2004 gawe wayang Jaka Tarub kanggo pergelaran kolaborasi wayang kulit lan ketoprak. Iku kiprahe Mbah Ledjar kang arepa yuswa sepuh isih tetep semangat kanggo ngenalake wayang marang masyarakat ndonya.


Sumber : Panjebar Semangat No. 34-23 Agustus 2014  

Selasa, 12 Januari 2016

Makalah Analisis Ceita Ketoprak





Ing jaman sakmenika donya sastra sansaya ngrembaka. Utamanipun ing kalangan tiyang enem ingkang remen sanget dhateng donya sastra. Ingkang dipunwastani sastra inggih menika karya seni ingkang dipunkarang miturut standar basa kesusastraan. Miturut Usman Effendi, kesusastraan utawi sastra inggih menika ciptaan manungsa ingkang wujudipun lisan utawi tulisan ingkang awujud karya sastra. Sastra lisan ngandut nilai utawi ide, amanat, gagasan sarta nilai ingkang saged dipuntampi lan dipunnikmati dening masarakat kathah. Sastra lisan menika gegayutan langsung kaliyan masarakat ingkang tuwuh lan ngrembaka wonten tengahing masarakat lan dipunwarisaken turun temurun kanthi lisan minangka gegadhahan sesarengan. Pramila sastra lisan menika kekayaan budaya mliginipun kekayaan sastra lan minangka model apresiasi lan pemahaman gagasan adhedhasar tradisi sadangunipun pinten-pinten abad.
Wujudipun karya sastra lisan inggih menika maneka warna. Salah sawijining karya sastra lisan ingkang taksih ngrembaka ngantos sakmenika inggih menika ketoprak. Ketoprak inggih menika drama tradisional ingkang dipunperagakaken dening sekelompok seni lan dipunpentasaken wonten ing sawijining panggung kanthi mundhut cariyos saking sejarah, cerita panji, dongeng lan sanes-sanesipun kanthi dipunselani lawak. Ketoprak wiwit wonten taun 1922 nalika mangsa Mangkunegaraan. Kesenian menika dipuniringi dening gamelan. Ciri khas saking ketoprak inggih menika ngangge basa jawi nalika wicantenan wonten ing panggung. Wiwitanipun ketoprak menika namung kangge hiburan dhateng masarakat ingkang dipunciptakaken dening salah sawijining pawongan wonten ing kerajaan. Ananging amergi kathah masarakat ingkang remen, ketoprak saged ngrembaka ngantos sakmenika lan dados tontonan masarakat ingkang remen sanget dhateng kesenian tradisional.
Adhedhasar paparan wonten ing nginggil, panulis badhe nerapaken cariyos ketoprak ngangge teori Struktural Ala Levi Strauss supados saged mangertosi nilai keteladanan wonten ing cariyos ketoprak.


a.       Kados pundi Struktur Cariyos Ketoprak “Jaka Tingkir Ngratu” ngangge teori Struktural Ala Levi Strauss?
b.      Menapa kemawon nilai-nilai keteladanan Cariyos Ketoprak “Jaka Tingkir Ngratu” wonten ing penerapan teori Struktural Ala Levi Strauss?

a.       Kangge mangertosi nilai-nilai keteladanan wonten ing Cariyos Ketoprak “Jaka Tingkir Ngratu” ngangge penerapan teori Struktural Ala Levi Strauss.
b.      Kangge mangertosi cariyos ketoprak “Jaka Tingkir Ngratu” saged dipunanalisis ngangge teori Struktural Ala Lvi Strauss.



Miturut Levi Strauss, analisis mite kedah mlampah kayata analisis babagan basa. Unsur-unsur mite, kayata unsur-unsur basa, wonten sajroning piyambakipun boten ngandut makna. Makna menika nembe tuwuh nalika unsur-unsur kasebut nggabung bentuk sawijining struktur. Mite nganduta manat ingkang dipunsinandikaken, lan tugas saking penganalisis inggih menika nemokaken lan nguraikaken kode menika sarta mbikak amanat kasebut.
Levi Strauss ngendikan dene struktur mite menika nggadhahi sifat dialektis. Tegesipun, saking mrika dipuntampilaken oposisi lan kontradiksi tartamtu---jaler: estri: endogemi: eksogami; kakak: adik; bumi: langit; lan selajengipun wonten penengahan utawi pemecahan (cetha saking proses menika kirang langkung sami kaliyan proses tesis- anti tesis- sintesis saking pemikiran Hegel). Menawi dipunpirsani saking gegayutanipun kaliyan fungsi-fungsinipun mite mbiyantu nglukisaken kontradiksi tartamtu wonten kauripan, lajeng mecahaken kontradiksi menika. Utawi kayata pamanggihipun dialektis ingkang dipunajukaken dening Leach.
Sampun tamtu, mite nggadhahi muatan naratif. Ananging miturut Levi Strauss lan pengikutipun babagan menika boten makna utami, amergi mite nebus ngantos (mentrasendensi) narasi. Ingkang tegesipun inggih menika pola mite ingkang sepenuhnya formal menika, gegayutan-gegayutan logis antawis elemen-elemen ingkang terkandung wonten dalemipun. Menawi dipunpirsani saking skala global, variasi mite ingkang nampak nyata menika dipunpirsani minangka transformasi logis saking seperangkat gegayutan struktural ingkang tahan kanthi dangu. Penemuan inti struktur ingkang mendasar menika ingkang dados perhatian pokok Levi Strauss nalika menganalisis mite. Sabab pungkasanipun inti struktur inggih menika mbikak struktur manungsa piyambak sarta logika serba-bagi-dua—(Binary-biner) ingkang dados landasan penopangnya. Wonten babagan menika, Leach narik analogi antawis struktur mite kaliyan struktur musik sarta drama.
Myteme miturut Levi Strauss inggih menika unsur-unsur saking kontruksi wacana mistis utawi (mythical discourse), ingkang nggadhahi satuan-satuan kosokbalen (oppositional), relatif lan negatif. Pandangan Jacobson babagan fonem, myteme dipunaturaken dening Levi Strauss minangka “Purely differential and contentless sign” mula saking menganalisis sawijining mitos utawi cariyos, tegesipun saking tembung ingkang wonten cariyos kedah dipunpisahaken wonten makna myteme utawi cariyos, ingkang ugi bagiyan saking tetembungan utawi rangkaian tembung-tembung wonten cariyos kasebut.


Jaka Tingkir menika putra saking Ki Ageng Pengging. Asma Jaka Tingkir ingkang leres inggih menika Mas Karebet. Jeneng mau, asale saka bapakke nanggap wayang beber ngepasi laire Jaka Tingkir. Nalika Mas Karebet umur sepuluh taun, Ki Ageng Pengging diukum pati, merga dituduh mbrontak saka Kesultanan Demak. Ora sawetara suwe ibune uga seda. Banjur Mas Karebet dipek anak dening Nyi Ageng Tingkir. Dheweke pamit marang Nyi Ageng Tingkir saperlu meguru. Mas Karebet nyinau ilmu agama. Dheweke meguru marang Sunan Kalijaga, banjur meguru maneh menyang Ki Ageng Sela. Dening Ki Ageng Sela, diaku anak lan digandeng sedulure karo putu-putune yaiku Ki Juru Martani, Ki Ageng Pemanahan Lan Ki Panjawi. Jaka Tingkir lunga menyang Kasultanan Demak Bintoro. Ing Demak, dheweke mangggon ing omahe Kyai Gandamustaka (pamane Jaka Tingkir) kang dadi lurah ganjur (ngurusi mesjid). Dening Sultan Trenggana, Tingkir diangkat dadi lurah wiratamtama.
Ing sawijining dina, Kesultanan Demak nganakake sayembara milih prajurit. Tingkir kang diutus mbiji. Ana salah sijining calon prajurit kang rupane ala senengane pamer lan umuk, arane Dadungawuk. Jaka Tingkir kang ora seneng marang calon prajurit iku banjur nguji kasektene, tanpa dinyana, Dadungawuk tiwas sanalika. Marga saka prastawa iku, Tingkir banjur ditundung saka Demak. Jaka Tingkir banjur meguru marang Ki Ageng Banyubiru, Tingkir diwenehi lemah kang bisa ndadekake dheweke bisa katampa maneh ing Demak Bintoro. Saka Banyubiru Jaka Tingkir mangkat menyang Demak dikancani dening muride Ki Ageng Banyubiru kang aran Mas Manca, Mas Wila, lan Ki Wuragil. Rombongane Jaka Tingkir ngliwati kali Kedung Srengenge nganggo getek Kyai Tambak Boro. Ing tengahing kali, rombongane Jaka Tingkir dicegat siluman baya. Kekarone adu kasekten, baya-baya padha kalah, banjur aweh pambiyantu marang rombongane Jaka Tingkir nganti tekan sebrange kali.
Tumekane ing Demak, Jaka Tingkir ngeculake kebo kang wis dileboni lemah ana kupinge lan digiring menyang lapangan. Kebo mau ngamuk ora karuan. Lan ora ana kang bisa ngadepi polahe. Sultan Trenggana kelingan marang kasektene Jaka Tingkir, lan ngutus prajurit supaya Jaka Tingkir bisa ngrampungi ontran-ontran mau. Ora angel anggone Jaka Tingkir ngalahake kebo mau. Marga saka tumindake, Sultan Demak ngangkat Tingkir dadi Lurah Tamtama maneh. Kasektene Jaka Tingkir, ndadekake dheweke dadi bupati Pajang lan ganti jeneng dadi Adipati Hadiwijaya. Duwe bojo Ratu Mas Cempaka, putri saka Sultan Trenggana. Sawuse Sultan Trenggana seda ing taun 1546, putrane kang aran Sunan Prawoto ngganteni dadi ratu, ananging tiwas ing tangane Arya Penangsang kang isih kapetung sedulur saka Jipang. Aryo Penagsang uga mateni Pangeran Kalinyamat (putra mantu Sultan Trenggana kang dadi bupati Jepara).
Arya Penangsang ngirim utusan kangggo mateni Hadiwijaya ing Pajang, Ananging tekan Pajang utusane Arya Penangsang malah diladeni kanthi becik lan diwenehi hadiah. Ratu Kalinyamat njaluk Hadiwijaya supaya mateni Arya Penangsang, Ananging merga isih ana gandheng sedulur Hadiwijaya rumangsa pakewuh yen mateni kanthi cara terang-terangan. Mula dheweke nganakake sayembara. Sapa kang bisa mateni Arya Penangsang, tanah Pati lan Mataram dadi duweke. Ki Ageng Pemanahan lan Ki Panjawi melu sayembara mau. Lan kang bisa niwasake Arya Penangsang yaiku Ki Juru Martani (ipene Ki Ageng Pemanahan).
Sawuse prastawa ing taun 1549 kasebut, Ratu Kalinyamat menehake Keraton Demak marang Hadiwijaya. Pusate dipindah ing Pajang lan Hadiwijaya dadi ratu kang sepisanan. Sultan Hadiwijaya uga ngangkat Mas Manca dadi patih kanthi gelar Patih Mancanegara, banjur Mas Wila lan Ki Wuragil didadekake menteri kanthi pangkat ngabehi. Ki Panjawi antuk hadiah tanah Pati kanthi gelar Ki Ageng Pati. Ananging Ki Ageng Pemanahan isih nunggu merga Sultan Hadiwijaya ora age-age menehake tanah Mataram. Nganti taun 1556, tanah Mataram isih ditahan dening Hadiwijaya. Ki Ageng Pemanahan pakewuh arep jaluk marang Hadiwijaya. Sunan Kalijaga kang ngerti kahanan mau, coba nengahi. Alesane Hadiwijaya ngenani hadiah tanah Mataram iku, amerga dheweke was sumelang krungu ramalane Sunan Prapen yen ing Mataram arep lair keraton kang bakale ngasorake Pajang. Sunan Kalijaga mbujuk Hadiwijaya supaya netepi ing janji. Lan Pemanahan uga wajib sumpah prasetya mring Pajang. Ki Ageng Pemanahan jejuluk Ki Ageng Mataram, lan wajib ngadep mring Pajang.
Ki Ageng Pemanahan peputra Sutawijaya, kang ngganteni dheweke sawuse seda. Mataram ing tangane Sutawijaya saya makmur. Ananging Sutawijaya ora gelem menehi laporan uga ora gelem bayar pajek mring Pajang. Ing taun 1582 Raden Pabelan (ponakane Sutawijaya) gawe geger ing taman kaputren Sekar Kedaton ( anakke Hadiwijaya), Pabelan diukum pati, lan ramane kang aran Tumenggung Mayang disingkirke menyang Semarang. Ibune Pabelan (adhi saka Sutawijaya) njaluk pitulungan marang kangmase. Sutawijaya ngirim utusan supaya bisa nylametake Tumengggung Mayang saka paukuman. Tumindake Sutawijaya dianggep luput dening Hadiwijaya, banjur Pajang nyerbu Mataram. Perang mau dimenangake dening pasukan Mataram. Sawuse kalah perang, Hadiwijaya kondur neng Pajang, nandang gerah, banjur seda lan disarekake ana ing Desa Butuh, Sragen. Ana ing kraton, Lurah Ganjur langsung sungkem marang Sultan Demak lan nyuwun ngapura. Nanging Sultan Demak ngendika yen piyambake kesengsem karo Jaka Tingkir, lan ngangkat Jaka Tingkir dadi lurah prajurit tamtama. Kanggo tandha pasrah marang Sultan Demak, Jaka Tingkir ngowahi kabeh sikape kang ala. Lan dadi lurah kang apik, tanggung jawag, pungkasane Jaka Tingkir dadi putra mantune Sultan Demak.


Alur Cerita :
1.      Jaka Tingkir putra saking Ki Ageng Pengging
2.      Nalika Jaka Tingkir umur sepuluh taun, Ki Ageng Pengging seda
3.      Jaka Tingkir dipek anak Nyi Ageng Tingkir
4.      Jaka Tingkir meguru marang Sunan Kalijaga
5.      Jaka Tingkir lunga menyang Kasultanan Demak
6.      Dening Sultan Trenggana, Tingkir diangkat dadi lurah wiratamtama
7.      Sawijining dina Kesultanan Demak nganakake sayembara milih prajurit, Tingkir kang diutus mbiji
8.      Ana salah sijining calon prajurit kang rupane ala senengane pamer lan umuk, arane Dadungawuk
9.      Jaka Tingkir kang ora seneng marang calon prajurit iku banjur nguji kasektene, tanpa dinyana, Dadungawuk tiwas sanalika
10.  Saka prastawa iku, Tingkir banjur ditundung saka Demak
11.  Jaka Tingkir banjur meguru marang Ki Ageng Banyubiru, Tingkir diwenehi lemah kang bisa ndadekake dheweke bisa katampa maneh ing Demak Bintoro
12.  Saka Banyubiru Jaka Tingkir mangkat menyang Demak dikancani dening muride Ki Ageng Banyubiru kang aran Mas Manca, Mas Wila, lan Ki Wuragil
13.  Tumekane ing Demak, Jaka Tingkir ngeculake kebo kang wis dileboni lemah ana kupinge lan digiring menyang lapangan
14.  Sultan Trenggana kelingan marang kasektene Jaka Tingkir, lan ngutus prajurit supaya Jaka Tingkir bisa ngrampungi ontran-ontran mau
15.  Marga saka tumindake, Sultan Demak ngangkat Tingkir dadi Lurah Tamtama maneh
16.  Sawuse Sultan Trenggana seda ing taun 1546, putrane kang aran Sunan Prawoto ngganteni dadi ratu, ananging tiwas ing tangane Arya Penangsang
17.  Arya Penangsang ngirim utusan kangggo mateni Hadiwijaya ing Pajang
18.  Ratu Kalinyamat njaluk Hadiwijaya supaya mateni Arya Penangsang, Ananging merga isih ana gandheng sedulur Hadiwijaya rumangsa pakewuh yen mateni kanthi cara terang-terangan
19.  Sapa kang bisa mateni Arya Penangsang, tanah Pati lan Mataram dadi duweke. Lan kang bisa niwasake Arya Penangsang yaiku Ki Juru Martani (ipene Ki Ageng Pemanahan).
20.  Sawuse prastawa ing taun 1549 kasebut, Ratu Kalinyamat menehake Keraton Demak marang Hadiwijaya
21.  Pusate dipindah ing Pajang lan Hadiwijaya dadi ratu kang sepisanan
22.  Sultan Hadiwijaya ngangkat Mas Manca dadi patih kanthi gelar Patih Mancanegara, banjur Mas Wila lan Ki Wuragil didadekake menteri kanthi pangkat ngabehi. Ki Panjawi antuk hadiah tanah Pati kanthi gelar Ki Ageng Pati
23.  Ananging Ki Ageng Pemanahan isih nunggu merga Sultan Hadiwijaya ora age-age menehake tanah Mataram
24.  Sunan Kalijaga kang ngerti kahanan mau, coba nengahi
25.  Alesane Hadiwijaya ngenani hadiah tanah Mataram iku, amerga dheweke was sumelang krungu ramalane Sunan Prapen yen ing Mataram arep lair keraton kang bakale ngasorake Pajang
26.  Ing taun 1582 Raden Pabelan (ponakane Sutawijaya) gawe geger ing taman kaputren Sekar Kedaton ( anakke Hadiwijaya), Pabelan diukum pati, lan ramane kang aran Tumenggung Mayang disingkirke menyang Semarang
27.  Sutawijaya ngirim utusan supaya bisa nylametake Tumengggung Mayang saka paukuman
28.  Tumindake Sutawijaya dianggep luput dening Hadiwijaya, banjur Pajang nyerbu Mataram
29.  Perang mau dimenangake dening pasukan Mataram
30.  Sawuse kalah perang, Hadiwijaya kondur neng Pajang, nandang gerah, banjur seda lan disarekake ana ing Desa Butuh, Sragen
31.  Ing kraton, Lurah Ganjur langsung sungkem marang Sultan Demak lan nyuwun ngapura
32.  Nanging Sultan Demak ngendika yen piyambake kesengsem karo Jaka Tingkir, lan ngangkat Jaka Tingkir dadi lurah prajurit Tamtama maneh.


Minangka langkah kapisan analisis, kisah wonten ing nginggil kedah dipunpisah-pisah ing saperangan episode, ingkang wosipun sawijining deskripsi ngenani sawijining babagan utawi nggadhahi sawijining tema tartamtu. Makna saking episode, ingkang badhe kita sumurupi samangke, gumantung kaliyan sekabehaning teks. Amargi, kita boten saged nafsiraken sawijining episode namung kaliyan acuan saking sawijining cariyos ing njaba tanpa merhatikaken posisi episode menika saking sekabehaning cariyos.
Selajengipun ing analisis menika kita kedah ngangsalaken unit-unit ingkang wonten ing cariyos, ingkang kita sebat kaliyan ceritheme. Ceritheme menika kita goleki saking tingkat ukara. Sawijining ukara angsal kita anggep sawijining cerithem yen ing njeronipun ngandhut sawijining relasi tartamtu, utawi yen ukara kasebut nglukisaken gegayutan-gegayutan tartamtu antar elemen ing cariyos. Cerithem menika banjur kita susun ndherekaken sumbu sintagmatis lan paradigmatis sabab kados ing basa, makna saking sawijining elemen gumantung kaliyan relasi sintagmatis lan paradigmatis ing elemen-elemen ingkang sanes. Kanthi cara sanes angsal kita temokaken cerithem-cerithem ingkang ngandhut relasi ingkang sami utawi ingkang boten sami. Interpretasi ing makna cariyos kasebut gumantung kaliyan sekabehaning relasi antar cerithem ingkang kasil kajupuk sarta makna reverensial utawi kontekstual saking elemen-elemen ingkang wonten ing cerithem kasebut.
Sasampunipun maos cariyos ketoprak Jaka Tingkir Ngratu kita saged nemokaken saperangan episode ing njeronipun. Saking episode-episode menika ngandhut cerithem-cerithem ingkang nyumurupaken dhateng kita maneka warna relasi antar paraga ingkang wonten ing cariyos kasebut. Makna maneka warna ceritheme lan episode menika enggal dados cetha sasampunipun kita bandingaken lan sejajaraken setunggal kaliyan ingkang sanes.
Episode 1 (alinea 1-3) ingkang kita angsalaken saking cariyos kasebut inggih menika asal-usul nama Jaka Tingkir. Aslinipun nama Jaka Tingkir inggih menika Mas Karebet putra saking Ki Ageng Pengging. Nalika Mas Karebet umur sepuluh taun, Ki Ageng Pengging seda. Ora suwe, banjur garwanipun nyusul. Banjur Mas Karebet dipek anak dening Nyi Ageng Tingkir.
Episode II (alinea 4-10) wosipun perjalanan Mas Karebet meguru. Ing kono dipuncariyosaken yen Mas Karebet meguru marang Sunan Kalijaga, banjur meguru maneh menyang Ki Ageng Sela. Sasampunipun meguru, Jaka Tingkir lunga menyang Kasultanan Demak Bintoro ngantos dipunangkat dadi lurah wiratamtama. Nalika Kesultanan Demak nganakake sayembara milih prajurit, Tingkir kang diutus mbiji. Ing sayembara kasebut, ana calon prajurit kang rupane ala senengane pamer lan umuk, arane Dadungawuk. Jaka Tingkir ora seneng marang calon prajurit iku. Dheweke banjur nguji kasektene, Dadungawuk tiwas sanalika. Marga saka prastawa iku, Tingkir banjur ditundung saka Demak.
Episode III (alinea 11-15) ing alenia 11-15 kasebut dipuncariyosaken yen Jaka Tingkir menika boten nglokro utawi patah semangat anggone dados pemimpin ing Kasultanan Demak. Kasunyatan sasampunipun ditundung saka Demak, Jaka Tingkir banjur meguru marang Ki Ageng Banyubiru. Saka Banyubiru Jaka Tingkir mangkat menyang Demak dikancani dening muride Ki Ageng Banyubiru kang aran Mas Manca, Mas Wila, lan Ki Wuragil. Ing tengahing kali, rombongane Jaka Tingkir dicegat siluman baya. Kekarone adu kasekten, baya-baya padha kalah, banjur aweh pambiyantu marang rombongane Jaka Tingkir nganti tekan sebrange kali. Tumekane ing Demak, Jaka Tingkir ngeculake kebo kang wis dileboni lemah ana kupinge lan digiring menyang lapangan. Kebo mau ngamuk ora karuan. Ora ana kang bisa ngadepi polahe. Sultan Trenggana kelingan marang kasektene Jaka Tingkir, Sultan Trenggana banjur ngutus prajurit supaya Jaka Tingkir bisa ngrampungi ontran-ontran mau. Jaka Tingkir bisa ngalahake kebo mau. Marga saka tumindake, Sultan Demak ngangkat Tingkir dadi Lurah Tamtama maneh.
Episode IV (alinea 16-19) ing alenia menika, saged dipunpirsani yen raos kekeluwargaan wonten cariyos kasebut taksih dipunjagi. Kasunyatan nalika Ratu Kalinyamat njaluk Hadiwijaya supaya mateni Arya Penangsang, Hadiwijaya rumangsa pakewuh amergi taksih wonten gandheng paseduluran menawi kedah mateni kanthi cara terang-terangan. Mula dheweke nganakake sayembara, Sapa kang bisa mateni Arya Penangsang, tanah Pati lan Mataram dadi duweke. Wong kang bisa niwasake Arya Penangsang yaiku Ki Juru Martani (ipene Ki Ageng Pemanahan).
Episode V (alinea 20-25) ing alenia kasebut, wonten prastawa kang ndadosaken manah sumelang amergi mireng ramalane Sunan Prapen yen ing Mataram arep lair keraton kang bakale ngasorake Pajang. Pramila Sultan Hadiwijaya ora age-age menehake tanah Mataram marang Ki Ageng Pemanahan. Sunan Kalijaga kang mireng prastawa kala wau, nyobi nengahi lan mbujuk Hadiwijaya supaya netepi ing janji. Ki Ageng Pemanahan ugi wajib sumpah prasetya mring Pajang.
Episode VI (alinea 26-32 ) sasampunipun prastawa kasebut, wonten prastawa kang ndadosaken geger ing taman kaputren Sekar Kedaton. Raden Pabelan (ponakane Sutawijaya) gawe geger ing taman kaputren Sekar Kedaton ( anakke Hadiwijaya), Pabelan diukum pati, lan ramane kang aran Tumenggung Mayang disingkirke menyang Semarang. Ibune Pabelan (adhi saka Sutawijaya) njaluk pitulungan marang kangmase. Sutawijaya ngirim utusan supaya bisa nylametake Tumengggung Mayang saka paukuman. Tumindake Sutawijaya dianggep luput dening Hadiwijaya, banjur Pajang nyerbu Mataram. Perang mau dimenangake dening pasukan Mataram. Sawuse kalah perang, Hadiwijaya kondur neng Pajang, nandang gerah, banjur seda lan disarekake ana ing Desa Butuh, Sragen. Ana ing kraton, Lurah Ganjur langsung sungkem marang Sultan Demak lan nyuwun ngapura. Nanging Sultan Demak ngendika yen piyambake kesengsem karo Jaka Tingkir, lan ngangkat Jaka Tingkir dadi lurah prajurit tamtama.


Keteladanan ingkang saged dipunpundhut saking cariyos ketoprak Jaka Tingkir Ngratu inggih menika :
1)      Jaka Tingkir boten nate nglokro nalika gadhah gegayuhan ingkang saged dipunwujudaken. Pramila kita dados manungsa kedah semangat lan kerja keras supados gegayuhan ingkang kita angen-angen saged kawujudaken kaya dene tuladha wonten ing cariyos Jaka Tingkir Ngratu.
2)      Raos kekeluwargaan menika kedah dipunjagi supados tali silaturrahmi kaliyan sedherek menika boten pecah. Babagan menika kaya dene Hadiwijaya ingkang mirasa pakewuh nalika dipunaturi mateni Arya Penangsang kanthi cara terang-terangan.



Sastra kang sansaya ngrembaka ndadosaken Sastra lisan ingkang awujud cariyos ketoprak tetep lestantun ngantos sakmenika. Kasunyatan cariyos ketoprak taksih dipunkaremi dening tiyang-tiyang ingkang remen sanget kaliyan kesenian jawi. Cariyos ketoprak ugi saged dados hiburan lan tontonan dhateng masarakat ingkang remen dhateng kesenian jawi. Saking analisis cariyos ketoprak menika, kita saged mangertosi dene cariyos ketoprak menika saged dipunanalisis ngangge teori struktural naratif ala Levi Strauss. Sanesipun kita ugi saged mundhut nilai keteladanan saking cariyos ketoprak ingkang sampun dipunanalisis ngangge teori struktural naratif ala Levi Strauss. Keteladanan saking cariyos ketoprak Jaka Tingkir Ngratu inggih menika :
1)      Jaka Tingkir boten nate nglokro nalika gadhah gegayuhan ingkang saged dipunwujudaken. Pramila kita dados manungsa kedah semangat lan kerja keras supados gegayuhan ingkang kita angen-angen saged kawujudaken kaya dene tuladha wonten ing cariyos Jaka Tingkir Ngratu.
2)      Raos kekeluwargaan menika kedah dipunjagi supados tali silaturrahmi kaliyan sedherek menika boten pecah. Babagan menika kaya dene Hadiwijaya ingkang mirasa pakewuh nalika dipunaturi mateni Arya Penangsang kanthi cara terang-terangan.


Kita minangka mahasiswa Bahasa lan Sastra Jawa kedah saged nguri-uri kesenian jawi, menapa malih saged ngrembakaken kesenian ingkang sampun wonten. Keteladanan ingkang wonten cariyos kasebut, sabisa-bisane dipunterapaken wonten kahuripan masarakat. Boten ngantos dipunmangertosi kemawon.





Sudikan, Setya Yuwana. 2001. Metode Penelitian Sastra Lisan. Surabaya : Citra Wacana